0
komentar
Kesempatan Hidup Kedua
.
Degup jantungku bertubi-tubi menyentak bilik-bilik pada rongga dadaku, lidahku kelu, tak satupun kata yang bisa kueja dengan benar. Seharusnya rangkaian doa panjang lah yang bisa kudengungkan di saat seperti ini. Bahkan sebuah surat yang biasa kubaca berulang-ulang paling tidak 17 kali atau lebih sehari semalam pun ayat-ayatnya berhamburan tak jelas di bibirku. Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Seperti inikah akhir kisahku tertulis dalam catatan lauhul mahfuzMu? Ya Allah, gemetar mataku menutup, berharap semua hanya mimpi. Tapi ini nyata, Ya Allah, mungkin saja saat ini salah satu Malaikatmu ada diantara kami, Izroil, Allahu Akbar, dari ratusan nyawa ini siapa yang akan disapa olehnya? aku menggigil. Aku takut ...
Tiba-tiba aku ingat ibu, bapak,
dan dosaku ...
Awal Juli 2013. Sebuah tugas dadakan mengharuskan saya untuk terbang ke
Makassar, tiga hari, kamis hingga sabtu. Dadakan karena perintah untuk pergi
kesana baru saya dapat pada hari rabu, yup satu hari sebelum keberangkatan.
Karena penting, ga bisa ditunda lain waktu, adalah akhirnya saya buru-buru
berburu tiket pesawat dan hotel. Tiket garuda full, akhirnya saya dan
teman-teman memilih untuk menggunakan pesawat lain. Ada 6 (enam) orang yang berangkat. Kami sepakat untuk naik pesawat jam 5 sore. Pada
hari H, pesawat yang kami tumpangi baru berangkat jam 6 lewat, dua kali delay.
Saat take off, hujan mulai turun, rintik kecil-kecil, terlihat sapuan
tetesnya yang tersangkut tipis di permukaan jendela pesawat. Sesekali kilat menyilaukan,
langit terang sebentar, sepersekian detik, dan kembali menyisakan gelap yang
pekat. Kira-kira 15 menit setelah take off, pesawat sedikit bergetar, saya tak
terlalu ambil pusing, hal yang biasa terjadi. Cuaca memang tak baik, mungkin saja karena
hujan atau karena gesekan pesawat dengan awan yang cukup tebal. Namun getaran
pada badan pesawat tak juga berhenti. Sudah hampir 5 menit, tak hanya itu,
getarannya mulai terasa kencang. Tubuh saya terdorong kekiri dan kekanan.
Getarnya semakin kuat dan tak wajar. Angin seolah-olah mempermainkan badan
pesawat. Saya bertumpu, memegang kuat kursi yang berada tepat didepan saya. Bibir
saya tak berheni-henti melafazkan tasbih, tahlil, salawat, apa saja. Saya ingat
dosa.
tak sekedar bergetar, badan pesawat berkali-kali terguncang. Tubuh saya
terlonjak kuat ke atas, dan kembali terhuyung ke kiri dan ke kanan. Begitu
menakutkan. Pikiran dan perasaan saya mulai tak karuan. Jujur saat itu saya
merasa takut sekali akan mati. Saya ga siap, saya ga mau mati seperti ini. YA Allah, saya ingin pulang saja, bertemu
dengan orang tua saya, mencium dan memeluk mereka, meminta ampun dan maaf kepada
mereka. Berangkai doa dan harapan saya panjatkan saat itu kepada Allah.
Berharap guncangan pada pesawat yang kami tumpangi segera berhenti. Namun di
tengah doa saya, tiba-tiba saya merasakan sesuatu hal yang sangat mengerikan,
pesawat jatuh kira-kira setengah hingga satu meter ke bawah. Hampir seluruh
penumpang berteriak. Keadaan semakin tegang. Dari arah belakang samar-samar
saya mendengar suara isakan tangis. Ini memang bukan main-main, siapa yang
tidak was-was dan takut dibuatnya. Saat ini kami sedang berada di atas udara
dengan ketinggan ribuan kaki dari daratan. Bila pesawat ini jatuh mungkin saja
di bawah sana bukan daratan yang akan kami jumpai, mungkin saja lautan, atau tempat-tempat
yang tak pernah terjamah oleh manusia.
Saya merinding, disamping saya duduk seorang lelaki setengah baya. Saya
tebak umurnya sudah 60 tahunan lebih, wajahnya terlihat serius, kedua bola
matanya mengatup, kedua tangannya terangkat, beliau sedang khusuk berdoa. Melihat
itu saya semakin kelu, seharusnya saya melakukan hal yang sama. Namun tangan
saya tak sedikitpun mampu digerakkan, lemah. Saya berdoa dalam hati,
sekhusuk-khusuknya ...
Perjalanan ke Makassar yang biasanya ditempuh dalam waktu hampir 2 jam itu
terasa begitu lama bagi saya, mungkin begitu pula yang dirasakan oleh penumpang
lainnya. Sepanjang perjalanan getar pada pesawat masih sering terjadi, walau
tidak separah sebelumnya. tasbih, tahlil, takbir, solawat, dan surat-surat
AlQuran tak putus-putusnya saya lafazkan. Berharap kami segera sampai di
Makassar dengan selamat.
Tepat jam sepuluh (kurang lebih) waktu Indonesia Tengah (WITA) akhirnya
pesawat kami mendarat juga di Bandara Hasanuddin Makassar dengan selamat. Tak
henti-hentinya saya mengucap syukur kepada Allah SWT. Sungguh Ia Maha
Penyayang. Hidup saya saat ini, bagi saya adalah hadiah tak terhingga dari
Allah, kesempatan kedua yang tak boleh disia-siakan.
Sesungguhnya yang paling dekat dengan manusia itu adalah kematian ...
Kullunafsin dzaiqatul maut,
setiap yang bernyawa pasti akan mati ...
Sumber gambar : google
Sumber gambar : google