0
komentar
Bukan Semalam di Malaysia, Tapi 2 Jam di Bukittinggi
.
Ini judul apa curhat ya, panjang amat …. Hehehe. Ya tapi begitulah
kenyataannya. Ini bukan tentang Malaisya negara yang terkenal dengan menara
kembarnya itu, bukan tentang lagu “semalam di Malaisya” apalagi tentang ipin
upin kartun buatan Malaisya yang bisa tembus Disney channel. BUkaann. Ini adalah
tentang Bukittinggi dan Aku, aiiiiih, romantisnya. Jadi begini ceritanya, kata
ustad, kalau ngaku beriman sama Allah maka harus yakin dan percaya kalau jumlah
rejeki yang kita dapat setiap bulan atau tahunnya tak pernah bisa diprediksi.
Alias ga bisa dihitung secara tepat. Artinya ada yang namanya rejeki yang Allah siapkan melalui cara atau jalan
yang tak terduga atau tanpa disangka-sangka. JAdi ga cuman mengharapkan gaji
bulanan tok, tapi yakin dan percaya pintu rejeki itu bisa darimana saja.
Nah, tanpa diduga dan dinyana justru rejeki itu menghampiri
saya. Tepat tanggal 1-3 Juli kemaren sebuah titah pun turun dari langit, ahaiii,
sebuah surat yang cukup bikin hati cenat cenut berantakan, bikin pegel linu di
badan lenyap seketika, bahkan saking senangnya saya tidak lagi memikirkan
terjemahan kata “galau” dalam bahasa sanskerta. Bagai punguk merindukan bulan,
bagai burung lepas dari sangkar, akhirnya salah satu impian saya terwujud juga.
Senangnyaaa. Allah Maha Baik, sebuah surat dinas mengharuskan saya terbang ke
kota kelahiran, ranah bundo kanduang. Padang.
Karena tak punya waktu banyak, kesempatan untuk singgah ke
BUkittingi tidak saya sia-siakan. Saya sengaja mengambil penerbangan paling
pagi ke Padang, boarding jam 6.20 WIB. Huhuhu, butuh perjuangan yang luar
biasa. Sebelum subuh sehabis sahur, saya sudah harus mandi dan packing. Tepat
jam setengah 4 pagi saya langsung tancap gas menuju gambir, dengan diantar
sepeda motor. Gambir, masih sepi, ya iyalahhh, masih pagiii. Damri menuju
bandara sudah stand by, ada 5 sampai 6 bis yang parkir. Saya melirik jam, 4
kurang 15. Belum imsak apalagi subuh. Karenanya dengan soknya saya memperlambat
tempo, artinya kecepatan berjalan saya tak lagi seganas waktu berangkat dari
rumah. Saya malah sok-sok an pakai mampir beli makanan ke minimarket.
Memperlambat tempo ceritanya, toh damrinya juga belum jalan, masih jam 4 masih
keburu, pikir saya. Eh, ternyata lagi asyik belanja saya ditinggal damri.
Saya berlari melambai-lambai, sampai mengirim sinyal SOS
kepada drivernya, tapi tetap tak digubris. Akhirnya saya pasrah naik bis
berikutnya yang jalan setangah jam kemudian. Walau penuh harcem (harap cemas),
akhirnya sampai juga dibandara jam 5.15an. Saya langsung check in dan memilih
langsung ke ruang tunggu dan menuju ke mushala untuk shalat subuh. Tepat jam
6.20 pemberitahuan untuk masuk ke pesawatpun terdengar. Dengan nasionalisme
yang tinggi dan merah putih didada, saya akhirnya masuk airline yang selalu
mengingatkan saya pada lagu Garuda di Dadaku itu … hehehe.
Tepat jam 8.15 pesawat yang saya tumpangi mendarat di
Bandara Internasional Minangkabau. Wuiiih senangnya. Berdasarkan instruksi dan
arahan dari beberapa pakar perkampungan (baca: orang yang sering pulang
kampung), saya bisa naik ojek atau pun taksi dari bandara menuju ke travel
tujuan Bukittinggi. Dengan nasionalisme yg mulai tergerus oleh sukuisme
akhirnya saya memilih naik ojeg dengan harga 10 ribu saja. Sebenarnya juga bisa
naik taksi dengan harga 15 ribu ke travel. Mencari ojeg memang sedikit susah.
Jadi pilihan tergantung pada keuangan anda-anda sekalian. Sesampai di travel
saya beli tiket tujuan BUkittinggi seharga 40 ribu, sayangnya bis ke
BUkittinggi baru berangkat jam 10. Adalah saya akhirnya menunggu, untungnya ada
teman ngobrol, seorang ibu sekitaran 60 tahun lebih. Bis datang tepat waktu,
atas anjuran ibu teman ngobrol saya itu, akhirnya saya setuju untuk duduk
didepan berdua dengannya, disebelah supir. Tidak rugi, karena sepanjang
perjalanan mata saya puas menikmati keindahan alam yang dilalui selama
perjalanan. Bukit dengan lembah yang terbentang dikiri dan kanan jalan. Semua
tampak hijau, menenangkan mata yang melihat. Amboiii, rancak bana. Bis juga
melewati lembah anai, salah satu objek wisata berupa air terjun. Perjalanan
memakan waktu hampir 2 jam setengah. Pada travel ini, penumpang bisa rekues
untuk diantar sampai alamat. Namun sekali lagi, dengan congkaknya saya lebih
memilih turun di pul-terminal akhir bis travel. Saya berjalan sekitar 20 meter
menuju aur kuning, karena bingung mencari angkutan umum yang dulu biasa saya
tumpangi waktu sekolah menuju rumah, akhirnya saya mutar-mutar tak tentu arah.
Hampir setengah jam, akhirnya tanpa rasa berdosa angkot putih bulukan itu
nyengir-nyengir kuda tepat ditempat yang pertama kali saya lalui. Halahhh ….
Jam 1 teng, akhirnya saya menginjakkan kaki di rumah
kelahiran saya. Sedikit haru biru, melow, nangis-nangis bawang bombai, saya
lihat setiap jengkal rumah yang pernah saya tinggali hampir 18 tahun itu.
Banyak kenangan, pasti dong. Setelah lepas kangen dengan etek (adik ibu saya)
akhirnya jam didinding berdentang dengan sadisnya. Tiga kali. Apa artinya?
Artinya Cinderella harus segera pulang, melepas sepatu kaca, dan mengikuti
instruksi sutradara untuk pura-pura rela dizolimi ibu tirinya. Hehehe … artinya
saya harus segera kembali ke travel yang mengantarkan saya ke Padang. Haaaah,
perjalanan yang cukup singkat, tapi lumayan menyenangkan, lumayan kembali
mencairkan kenangan-kenangan yang sempat terlupakan, atau sengaja dilupakan.
Nah, untuk ke Padang, saya dikenakan biaya 35 ribu, diantar
sampai ke alamat. Tepat jam 7 lebih dikit, diantara malam yang gelap dan pekat,
disertai hujan lebat saya sampai juga di Hotel tempat saya menginap di Padang.
Bertemu teman-teman yang telah dengan setia menahan lapar, menunggu kedatangan
saya untuk makan malam bersama. Ahhhh senangnya.
Allah memang Maha baik, Maha keren … Moga next time rejeki
yang ga diduga-duga itu datang lagi yah, Paling tidak jangan cuma 2 jam, tapi
semalam di Bukittinggi. Amiiin.