Lelaki Kertas
.
Beralih ke wajah lelaki kertas itu. Satu kata cukup mewakilkan roman pemilik tubuh tipis kering itu. Kacau. Tidak ada keseimbangan disana. Timpang, centang perenang. Bola matanya besar laksana gajah jumbo yang dipaksa masuk dalam kerangkeng monyet. Membiarkan bokong besarnya menyembul keluar. Biji mata itu tertanam dalam lubang yang sempit dan pengap. Seakan ingin meloncat keluar meninggalkan sarangnya. Bulu kudukmu akan berdiri bila lama-lama menatap mata itu. Hidungnya bulat besar. Sangat memakan tempat di area wajah lonjongnya. Menggusur anggota wajah yang lain untuk menepi. Bibirnya seperti kerucut. Kecil, tipis. Ketika berbicara seperti mulut ikan yang megap-megap di permukaan tabek mencari udara yang tidak sepekat dibawahnya. Didalamnya teronggok deretan gigi yang tidak rata. Laksana barisan rumah yang porak poranda akibat hempasan angin puting beliung. Menyisakan puing-puing atau bangunan miring tak beratap. Bicaranya tidak begitu jelas. Kalau kau malas bertanya untuk yang kedua kalinya, berarti kau harus mengira-ngira dan menebak apa yang sedang dibicarakan oleh lelaki kertas itu. Kusarankan untuk menjaga pendengaran dan penglihatan agar tak keliru.
Kepalanya sulah dengan rambut tipis bewarna merah kecoklatan. Tandus, helaian rambut tumbuh ala kadarnya. Membentuk lingkaran tepat diubun-ubunnya seperti bekas pendaratan pesawat UFO di ladang gandum. Kulitnya kering terbalut warna coklat tua pekat. Jari-jari tangannya suka bergetar sendiri, tak mau diam, tak terkendali. Gemetar. Seolah punya dunia sendiri yang terpisah dari induk semangnya. Maka tak jarang lelaki itu sering menjatuhkan benda-benda yang sedang berada dalam genggamannya.
Maik, begitulah orang kampung sering memanggilnya. Aku tak tahu pasti nama panjang lelaki kertas itu. Aku mengenalnya telah berada di kampung aur ini dengan nama yang tak ubahnya seperti sebuah gelar. Sindiran nyata tentang roman dan perawakannya yang tak jauh beda dengan mayit atau mayat. Ia sering meracau tak jelas, tapi tak mengganggu. Dengarlah sekali-kali racauan itu. Ada sejuta makna disana. Tak asal. Bukan sekadar gurauan. Ada peringatan, nasihat, petuah, sindiran halus bahkan kekocakan yang membuat kau tersenyum.
Maik tak pernah protes dengan hidupnya. Sepi interupsi. Bahkan ia terlihat senang dengan kondisinya. Tak menyalahkan Tuhan. Apapun itu sempurna dimatanya. Tak ada hitam apalagi abu2. Semua bersih, suci, putih. Maik yang tak sempurna di mata awam kami, adalah manusia terpilih. Pilihan Zat yang maha tinggi. Pemilik jagat semesta. Mungkin karena itu pulalah ia diberi keistimewaan. Ia tak pernah alpa. Tak pernah lupa diri, tak pernah lupa kami, tak pernah lupa sembahyang, tak pernah lupa untuk saling mengingatkan. Ia laksana dengungan alarm penyentak.
Maik lelaki kertas itu. Si yatim yang dicintai orang kampung justru karena kekurangannya ... Helaian kertas berterbangan terserak di angkasa. Udara dingin menusuk2, angin bertiup tenang. Di ranah ini, di tanah jirek tanah wakaf lokalisasi peristirahatan abadi lelaki kertas itu kini berbaring. Lelaki kertas itu telah menulis sendiri amal2 baiknya di helaian kertasnya. Ia telah siap melapor kepada pemilik hidup. Maik, Ahmad ... Lahir Jumat 12 Januari, Wafat Jumat 12 Januari ...
Juanda, 27012011