Kesetiaan


.

Kesetiaan. Adakah ia?
Pagi itu sedikit mendung. Sisa guyuran hujan semalaman menyisakan kubangan2 air di jalanan yang tak rata. Sebagian orang tampak berjinjit. Meloncat-loncat, seperti seekor belalang hijau. Mata mereka awas mencari-cari lahan yang kering untuk dipijaki. Mengatur strategi dan memetakan jalan terbaik yang akan diambil agar pakaian yang semalaman letih-letih disetrika sampai licin mengkilat tidak ternoda oleh becekan air. Tak terkecuali pula denganku.
Stasiun senen pagi ini tampak sama seperti biasanya. Para penjaja dagangan bersiap-siap menekuni karier hidup mereka. Menghamparkan pernak pernik dagangan mereka menutup rel yang setiap menit dilalui pemilik pongahnya. Sementara menggusur mereka untuk menepi seketika. Karena memang tak selayaknya mereka disana.
Ada sesuatu pagi ini. Menggoda sensitivitasku. Dua tiga langkah di depanku. Dua manusia. Baru aku menyadari bahwa seorang diantara mereka adalah perempuan. Karena memang tak jelas lagi. POtongan rambutnya sama-sama pendek. Berbalut dua seragam jatah pembagian gratis parpol. Oranye dan biru. Celana panjang mereka tampak robek sana sini. Sebagian digulung ke atas. Menampilkan pemandangan kulit kaki hitam bersisik dan jamuran. Entah kapan terakhir kali kulit itu berkecibab dengan air. Hingga daki yang menumpuk telah mendarah daging menyatu dengan kulit. Raga gatal mungkin telah berkawan dengan mereka.
Telapak kaki yang telanjang. Menerobos apa saja yang mereka lalui.
Apa bedanya kaki ini dengan genangan dan lumpur-lumpur hitam itu. Sama-sama kotor. Orang2 juga akan menghindar bila berdekatan dengan kami. Penampilan tak penting. Karena kami memang tak penting. Dipaksa Invisible. Begitulah keberadaan kami.
Mungkin itulah kira-kira yang ada dalam pikiran mereka.
Tubuh lusuh mereka telah terkikis oleh gesekan masa dan usia. Jalan pun mereka bungkuk menengadah ke pusat bumi seolah bentuk kerelaan bila tubuh itu siap menyatu dengan tanah yang dipijak kapan saja. Toh hidup cukup melelahkan bagi mereka. Pada tangan kanan si lelaki tampak sebuah besi panjang dengan ujung yang runcing. Tangan kiri, menjinjing sebuah karung coklat kumuh lusuh gambaran pemiliknya. Disampingnya si perempuan mengapit erat lengan kiri si lelaki. Seperti tak ingin terpisahkan sedetik pun. Mungkin mereka adalah pasangan suami istri yang tak pernah punya surat nikah.
Sang suami tampak sangat membimbing. Mencintai sang istri apa adanya. Cinta yang abadi walau tubuh itu tak seindah saat puluhan tahun yang lalu. Tiada betis putih yang mulus. Urat-urat yang menyembul besar-besar bewarna hijau dan coklat lah saat ini menghiasi betis itu. Kulit bersisik serupa ular dan roman wajah yang tak jelas jantan atau betinanya lagi. Ia tetap mencintainya. Sesekali menarik dengan lembut tubuh sempoyongan sang istri menepi menghindari laju kendaraan yang kadang tak bermoral.
Begitu pula sang istri. Ia tampak ikhlas menjalani takdir bersama sang suami. Padahal mungkin dulu ia pernah akan dilamar oleh seorang tuan tanah di kampungnya. Demi cinta, menikahi lelaki pujaan. Merantau ke jakarta, terdampar di pusat kota yang kejam karena hanya menyisakan lahan pekerjaan sebagai pemulung bagi mereka. Hingga puluhan tahun. Sampai saat ini. Tak pernah terpikir untuk menyesal, karena ini lah hidup. Pilihan yang telah mereka ambil sendiri.
Aku merenung. Kesetiaan itu pasti ada. Bila tidak, tak akan mungkin ada kata itu dalam perbendaharaan kata-kata manusia. Pagi itu di stasiun senen aku melihat kesetiaan itu hidup, berjalan, bernafas bahkan mampu menggodaku. Kesetiaan itu tersenyum serupa orang tua yang bangga melihat hasil rapor anaknya yang memuaskan. Ia hidup karena peran dua manusia renta yang telah terlihat kecil dan semakin menjauh.
Sebuah pelajaran penting ada disana. Pelajaran dari dua manusia yang dipaksa invisible.


Juanda, 20 Nov 08