Fabio Rosa


.

”Fabio ghh ... ghosa.” Mendengar namanya dipanggil seorang gadis muda mengacungkan telunjuk. Wajahnya mungil. Ada puluhan tahi lalat tersebar di wajah itu. Kata orang kau akan dilimpahi banyak rezeki bila memiliki banyak tahi lalat di wajah. Rambutnya hitam lebat dengan helaian serupa ijuk. Potongan bulat melingkar sebahu dengan poni rata menutupi kening. Bola matanya bulat bersih. Bibirnya tipis. Bila diperhatikan benar, akan terlihat bulu-bulu halus yang tumbuh di pinggiran atas bibirnya. Ia gadis muda yang berkumis tipis.

”Rosa ... Fabio Rosa, Ibu. Bukan Ghosa.” Ucap gadis muda itu dengan anggun. Tampak sangat berkelas. Kritik atas kekeliruan yang tidak menggurui.

”Ya ... Ghhho ... Ghhhooosa ... Ghosa.” Guru bertubuh tambun itu sekuat tenaga memperbaiki kekeliruannya. Kasihan sekali, sekeras apapun usahanya namun tetap saja tidak merubah keadaan. Masih terdengar sama. Wajahnya basah oleh keringat. Belum habis kucuran keringat yang dikeluarkannya saat menempuh perjalanan dari ruang guru menuju kelas ini. Kali ini wajah itu bertambah basah oleh ulah gadis muda berkumis tipis itu. Susah bukan main ia melafazkan nama, hanya karena sebuah huruf yang tidak mampu dijamah oleh tekstur lidahnya.

”Panggil saja Fabio. Itu sudah cukup, Ibu.” Gadis muda itu mencoba berbesar hati. Seolah membaca kesulitan yang dihadapi oleh sang guru. Tawaran yang jenius guna mengurangi penderitaan Ibu Dewi, guru wali kelas I-1 sekaligus pengajar bidang matematika.

Sebuah senyum tersungging di sudut bibir guru tambun itu. Pipi tembemnya tampak semakin mengembang. Tidak hanya wajahmu yang cantik, hatimu juga cantik. Kau telah membantu gurumu yang tidak bisa membaca huruf R ini keluar dari masalah. Terimakasih anakku. Mungkin sebait kalimat itulah kira-kira makna dari ulasan senyum guru tambun itu.

Ibu Dewi Murni. Guru murah senyum. Bobot tubuhnya lumayan besar. Tidak bijak rasanya bila kucantumkan angka yang tertera pada timbangan bila guru itu menaikinya. Yang pasti jarum timbangan itu langsung berkibas jauh tergusur menepi ke kanan seolah takut tubuh itu menimpanya. Kedua lengannya terlihat seolah menggantung di bahu. Mengapit timbunan lemak yang menyembul di bawah lipatan ketiaknya. Aku seperti melihat panda besar. Saranku jangan banyak mengajak bicara orang-orang dengan bobot tubuh seperti ini saat kau berjalan beriringan. Kasihan sekali, jangankan menjawab pertanyaanmu. Mengangkat kaki untuk melangkah saja, mereka sudah penat luar biasa. Ngos-ngosan, sampai napas mereka pun terdengar bersuara. Ditambah lagi buliran keringat yang mengucur deras. Jangan salahkan mereka bila jawaban atas pertanyaanmu terkadang tidak nyambung sama sekali. Pikiran mereka bercabang kemana-mana. Mulai dari berpikir teknik terbaik untuk bernapas sampai menahan gatal dari gelitikan keringat yang mulai terasa lengket. Fokus mereka adalah cara tercepat untuk sampai di tempat tujuan.

Fabio Rosa nama yang memang tak umum bagi orang Minang. Fabio, tidak pula cukup feminim kedengarannya. Telah lama rasanya aku mengenal gadis berkumis tipis ini. Enam tahun yang lalu. Saat seorang gadis kecil dengan potongan rambut ala Adi Bing Slamet cilik ketika menyanyikan lagu Mak Inem Tukang Latah. Gadis itu berdiri menyandar pada dinding kelas memegang sebuah serutan berbentuk komedi putar berwarna hijau terang. Ada gambar badut-badut lucu dengan balon warna warni di sekelilingnya. Pada sisi atas terdapat deretan angka dari 1 sampai 10 dengan sebuah anak panah kecil dipinggirnya. Sebuah tangkai kecil menyembul dari sisi sampingnya. Ketika kau menarik tangkai itu dan kemudian melepaskannya, maka saat itu pula deretan angka itu berputar. Aku suka sekali meminjam serutan itu dari Fabio. Menarik tangkai kecil itu dan kemudian berharap angka besarlah yang berhenti tepat di depan panah kecil itu.

Fabio tidak umum seperti kawan-kawanku kebanyakan. Dia trendsetter, up to date, fashionable. Layaknya berita, Fabio adalah berita yang aktual, tidak basi dan yang paling ditunggu-tunggu. Ia penuh kejutan.

Benda-benda kepunyaannya tidak pasaran. Tidak umum. Belum ada bahkan memang tidak ada yang bisa menandingi gadis berkumis tipis itu. The one and only. Suatu hari amak membelikan sebuah kotak pensil plastik berwarna merah bata. Hatiku bersorak senang. Sudah lama ku mengidam-idamkan kotak persegi panjang itu. Biasanya aku menyimpan alat tulisku itu dalam sebuah punjin, dompet yang terbuat dari kain dan dijahit. Berbentuk kantung segi empat. Bagian atas ditutup dengan tali yang juga terbuat dari kain. Tali itu dimasukkan kedalam terowongan selebar setengah senti yang telah dijahit sebelumnya. Kemudian ditarik hingga kantong itu mengkerut dan menutup. Bagi orang tua, mereka biasa memakai punjin untuk menyimpan uang sebagai pengganti dompet. Punjin dililitkan melingkari pinggang mereka, tersembunyi dibalik pakaian. Untuk itu talinya harus sedikit panjang. Umumnya mereka juga menggantungkan batangan kunci disana. Kunci rumah, kunci kamar, kunci pagar, segala macam kunci, persis seperti sipir penjara.

Aku berlari sekencang-kencangnya. Berpacu dengan keinginan untuk memperlihatkan kotak persegi itu kepada kawan-kawanku. Bukan mereka belum punya. Modelnya bahkan sama dengan yang lain. Namun gambar yang menempel dipermukaan kotak itu tidak seperti kotak-kotak sebelumnya. Gambar kartun orang, kepalanya datar dengan ujung runcing serupa kulit durian. Kulitnya kuning. Sepertinya ia tak memiliki kelopak mata, hingga yang terlihat adalah biji mata yang menyembul keluar Bibir atasnya lebar dan lebih maju dibandingkan yang bawah. Ia tampak senang digambar itu. Terlihat dari deretan gigi putih yang menyembul dari bibir anehnya. Tidak ada tulisan apapun yang bisa kubaca. Sekedar untuk mengetahui siapa tokoh yang ada digambar itu. Entah jawaban apa bila ada kawan bertanya gambar siapa itu.

”Gambar siapa itu, Dis?” Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar juga. Senyum banggaku perlahan pudar. Berganti detak jantung yang bertalu-talu.

”Emmmmh ... masak tidak tahu, dia tokoh kartun yang terkenal.” Aku bersiap membual.

”Oh ya? Siapa dia?” Pik meraih kotak persegi itu. Dipandangnya lama dengan dahi yang mengkerut.

”Dia itu pahlawan kebenaran.” Jawabku spontan. Rasanya jawaban itu keluar begitu saja tanpa kompromi terlebih dulu dengan otak.

”Pahlawan kok jelek sih, Dis. Coba kamu lihat bibirnya bengkak seperti habis tersengat lebah. Kepalanya runcing-runcing macam tanduk. Ngeri sekali.” Kusesalkan jawaban awalku. Kenapa harus pahlawan. Bisa apa saja, asal jangan pahlawan. Setuju dengan pernyataan Pik, mana ada pahlawan dengan perawakan seaneh itu. Mau tidak mau aku harus mulai mempraktekkan pelajaran ’Mari Mengarang’.

”Namanya Bart, Bart Simpson.” Sebuah suara mengagetkan kami. Tanpa kusadari gadis berkumis tipis itu sudah berdiri lama dibelakang kami. Mendengar semua pembicaraanku dan Pik. Dan tentu juga mendengar bualanku.

“Oooooo …. “ Tanpa sengaja aku berkoor o bersama Pik.

“Dia itu anak tertua dari keluarga Simpson.” Jawab Fabio lagi.

”Betul ia pahlawan, Bi?” Mendengar pertanyaan Pik Jantungku serasa merosot ke perut. Nama baikku dipertaruhkan. Bagaimana bila bualanku nyata-nyata salah. Tak perlu dijawab, toh dimana-mana namanya bualan adalah kebohongan. Fabio tersenyum. Matanya bergerak menatapku. Aku mati kutu.

Tooooong ... tooooong ..... tonggg. Lonceng tanda masuk berbunyi. Aku merasa diselamatkan. Kami harus segera masuk kelas. Mulai belajar dan melupakan gambar konyol itu. Tapi yang terjadi Pik menahan lenganku dan Fabio. Tetap keukeuh, menunggu sebuah jawaban. Fabio tersenyum untuk yang kedua kalinya.

”Ayo kita masuk. Bukankah lonceng itu telah memanggil-manggil.”Ajak Fabio. Pik yang keras hati terlihat pasrah menyerah. Ia menggandeng lengan ku dan Fabio bersamaan melangkah menuju kelas. Kredibilitasku terselamatkan.

Beberapa tahun kedepan akhirnya aku mengetahui juga gambar pahlawan aneh berbibir sengatan lebah itu. Bart Simpson, betul seperti yang dikatakan oleh Fabio. Tapi adalah kesalahan besar bila ia adalah seorang pahlawan. Bertolak belakang sekali. Bart adalah anak sulung dari keluarga Simpson. Ia adalah anak yang malas, nakal, jahil, bodoh dan kacau. Jauh dari sifat seorang pahlawan. Nama baikku terjaga. Fabio, gadis berkumis tipis itu membantu menutup aibku. Bualan murahanku. Ia menyelamatkan reputasiku. Ia tidak pernah menertawakan ketololanku. Hanya senyumnya yang kuingat. Senyum serupa petuah bagiku. Janganlah kau membual kawanku, tidak baik. Agama juga melarang, kau akan berdosa karenanya.

Tak pernah lagi kotak itu kubawa. Kalaupun ada pasti tak kukeluarkan, bersembunyi di balik tas kainku. Menyembul malu-malu. Menunggu Pik tidak lagi banyak cincong.

Kuingat beberapa hari kemudian, Fabio datang dengan membawa sebuah kotak pinsil yang baru. Lain daripada yang lain. Kotak itu punya dua sisi yang bisa dibuka, muka dan belakang. Tempat pensil terpisah dengan penggaris dan penghapus. Mereka punya tempat masing-masing. Ada karton kecil yang berisi jadwal mata pelajaran perhari di dalamnya. Kotak itu menutup menggunakan magnet yang menempel diantara keduanya. Tidak harus dilepit seperti kotak pinsil umumnya. Gambar luarnya pun tidak kalah indah. Gambar seorang gadis bertubuh ramping. Rambutnya kuning keemasan diikat dua panjang terurai. Ia menggunakan pakaian berwarna putih dengan kerah biru. Sebuah pita merah terpasang didadanya. Cantik sekali. Ada butiran bintang tersebar mengelilinginya. SAILORMOON, huruf yang berderet di bawah gambar gadis bertubuh ramping itu.

”Siapa gadis cantik di gambar itu, Bi?” Pik mengerutkan keningnya. Reaksi yang sama persis saat ia melihat kotak pensil pahlawan bualanku.

”Sailormoon. Cantik ya?” Jawab Fabio.

“Iya …” Aku berkoor kata iya bersama Pik.

”Mmmmmm .... apa dia pahlawan?”Tiba-tiba jantungku kembali terasa merosot, namun kali ini hingga dengkul. Pik kembali penasaran. Sejak bualanku itu baginya semua gambar dikotak pensil adalah pahlawan. Orang penting, sampai-sampai tercetak di alat-alat tulis kami.

”Iya, ia pahlawan. Benar-benar pahlawan.” Seperti ada penegasan dari pernyataan serta nada suara Fabio. Fabio hanya menunduk. Tapi bagiku matanya sedang menatap kearahku.

Aku mengenal Fabio lebih dari kawan-kawan SMPku saat ini. Kami telah bersama semenjak kelas satu SD. Kawan satu kelas dan juga kawan saat bermain. Ia gadis yang cantik, itu tak bisa disangsikan. Ia juga gadis yang baik. Pujian atasnya bukan karena ia menyimpan rapat-rapat bualan Simpsonku, tapi ia memang gadis yang baik. Ia suka memperlihatkan kami alat-alat tulis atau mainan yang baru dibelinya, bukan bermaksud membuat kami iri. Tapi ia ingin berbagi kesenangan bersama kami. Bahkan Fabio tidak pelit meminjamkannnya pada kami.

Fabio Rosa memang berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya seorang pemborong bangunan. Bos yang mengepalai hampir 20 orang kuli. Ayah, begitu aku sering memanggilnya, mengikuti panggilan gadis berkumis tipis anaknya. Entah siapa nama dibalik perawakan kurus tinggi dan rupa yang rancak itu. Bisa kutebak lelaki berambut kotak inilah yang menurunkan keelokan rupa kepada Fabio. Bila suatu hari Ayah datang ke sekolah menjemput Fabio, maka ia tak pernah melupakanku. Memberi tumpangan di mobil sedan mininya, mengantarkanku hingga di depan pintu rumah. Baik sekali. Tak jarang pula datang tawaran untuk berkunjung ke rumah indahnya. Namun acap kutolak karena tak lebih dari rasa segan.

Sedangkan ibunya adalah seorang perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit islam di kotaku. Perawakannya kasar, dengan garis wajah yang tegas. Jarang sekali kulihat wanita bersanggul itu tersenyum. Sorot matanya horor, membuat setiap yang melihat bergidik ketakutan. Bila ia bicara tampak seperti orang yang sedang marah-marah. Gerak tubuhnya kaku, serupa laju prajurit yang sedang latihan baris berbaris. Gambaran manusia yang kecewa dengan kehidupan, seperti itulah ia bagiku. Kau lebih baik menghindar bila suatu waktu berpapasan dengan wanita seperti ini. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, apa yang telah diwariskan wanita horor itu kepada Fabio, karena tak sedikitpun gadis berkumis tipis itu menyerupai ibunya.

Rasanya memang pantas karena ternyata ibu Fabio lebih tua 10 tahun dari ayahnya. Bila kumendapati mereka sedang berdiri berdekatan, serupa ibu dan anak saja. Oh iya satu lagi, ayahnya hobi berburu. Pernah gosip berhembus, ayahnya pulang membawa babi hasil buruan. Mereka memasak dan memakannya sebagai lauk. Wallahualam, aku tak pernah mengamini gosip itu.

Rumah Fabio adalah satu-satunya rumah yang telah menggunakan antena parabola di kampungku. Payung putih lebar yang terpasang terbalik. Ia bisa menyaksikan siaran televisi dari berbagai belahan dunia, sementara kami masih berkutat dengan satu channel tv nasional. Makanya kami sangat percaya akan cerita-cerita Fabio. Film-film barat, india, mandarin yang ditontonnya dengan senang hati diceritakan kepada kami. Pintar sekali gadis berkumis tipis itu bercerita, bahkan kami bisa membayangkan dengan jelas lakon-lakon yang ada dalam ceritanya. Layaknya seorang pujangga yang mampu membius otak kanak-kanak kami hingga ternganga luar biasa saat mendengarkannya.

Apalagi? Ini yang terpenting. Fabio punya otak yang encer luar biasa. Deretan anak-anak kebanggaan SD terang benderang. Kekasih hati para guru dan kepala sekolah, tak jarang karena prestasinya nama baik sekolah semakin harum. Kuingat satu kali di bulan Juni 1991, hari sabtu saat penerimaan raport kenaikan kelas. Hujan turun lebat sekali. Petir serupa blitz kamera wartawan mengerubungi seorang diva, menyilaukan. Guntur berkumandang, bertalu-talu memekakkan telinga. Manusia tak berdaya, dipaksa terkurung dalam ruang, rehat sejenak menunggu hujan reda. Entah sampai kapan, mungkin juga sampai tengah malam, ketika manusia-manusia itu penat dan terlelap dibalik selimut hangatnya. Seorang gadis berkumis tipis tampak terlihat kuyu dengan wajah tertutup kedua lengannya, menempel pada dinding kelas serupa saat kau main petak umpet. Fabio menangis. Ia tergugu, terlihat dari bahunya yang turun naik. Sesekali terdengar isaknya.

”Bi, sudahlah jangan menangis?” Seorang gadis berkulit kuning langsat berdiri disamping Fabio. Tubuhnya kecil mungil. Tak aneh banyak yang meledeknya dengan panggilan Unyil. Hingga perasaan takut pernah menggerayangi gadis mungil itu, ngeri membayangkan tubuhnya berhenti untuk tumbuh, stak dengan ukuran yang segitu-gitu saja. Petakut yang termakan oleh jiwa kanak-kanaknya. Sengaja berjinjit bila berdiri bersamaan dengan kawan-kawannya agar terlihat sama. Penghuni abadi baris pertama upacara bendera dari kelas satu hingga lulus tak pernah tergantikan, karena ialah makhluk terpendek dari kawan-kawan seangkatannya. Ia paling benci saat guru menyuruh seluruh siswa berbaris mengukur tinggi. Berharap hari itu tak pernah ada. Akan lebih baik ia berpura-pura sakit, berpura-pura terbaring di dipan kayu rumahnya daripada melihat senyum getir gurunya yang jelas terbaca kalau guru itu khawatir luar biasa dengan tingginya yang jalan di tempat dari tahun ke tahun. Rambutnya ikal tipis, menggelung indah. Jelas terlihat kalau seragam yang ia gunakan kebesaran. Pakaian turun temurun dari kakaknya yang telah lulus SD. Kancing bajunya berwarna warni dengan model yang juga beragam. Akan sulit bagimu mencari mana kancing asli dari seragam putih itu. Benang untuk menjahit kancing itu pun tak kalah heboh. Merah, coklat, bahkan hitam kontras dengan warna yang seharusnya. Setiap yang melihatnya punya reaksi yang hampir sama, menghembuskan napas dan menggelengkan kepala 3 sampai 4 kali lalu berlalu begitu saja. Ribuan kalipun bertemu dengan gadis itu orang akan cepat melupakannya. Bahkan ketika suatu hari mereka kembali bertemu, orang-orang itu pasti menganggap itu adalah pertemuan pertama, karena tidak ada yang bisa diingat dari gadis mungil itu. Tuhan maha adil. Untunglah otaknya luar biasa encer. Gadis pengoleksi kancing itu ialah sang bintang kelas SD Terang Benderang. Tentunya ia harus banyak bersyukur, bila tidak karena otaknya gadis mungil berkulit kuning langsat itu nyaris invisible. Sungguh miris.

Selain itu yang cukup bisa dibanggakan dari gadis mungil itu adalah ia sprinter, pelari tercepat di SD Terang benderang. Badan yang mungil dan dorongan anginlah faktor penentu, kurasa. Hingga tubuh itu seperti melayang tak menapak mencium tanah saat kaki kecilnya berlari. Ia selalu menjadi utusan SD Terang Benderang setiap ada perlombaan olahraga antar sekolah.

Gadis mungil itu kemudian memegang bahu Fabio. Mengguncang-guncangnya, memohon gadis berkumis tipis itu agar sudi membalikkan badan dan menghentikan tangisnya.

”Ak … aku … aku takut, Dis.”Suara Fabio terputus-putus bercampur isaknya yang semakin menjadi.

”Kau tak salah apa-apa, Bi. Jadi tak perlulah takut. Nomor tiga tidak buruk bagimu. Semua juga tahu kau telah berusaha sekuat tenaga mengejar ketertinggalanmu”

Fabio, gadis berkumis tipis itu akhirnya membalikkan badannya. Wajahnya basah. Matanya merah. Fabio tersenyum ke gadis mungil itu. Fabio dan gadis mungil pengoleksi kancing itu, mereka berpelukan.

Namun tampak jelas bagiku ada ketakutan luar biasa yang masih tersimpan di balik senyuman Fabio. Hanya Fabio yang tahu seberapa dalam dan gelapnya sumur ketakutan yang sedang digalinya.

”Fabio, Fabio Rosa ... ayo kita pulang.” Aku kaget bukan kepalang. Tak beda jauh denganku, begitu pula halnya dengan Fabio. Ibu Fabio, wanita berwajah horor itu. Ia berdiri tegap seperti berdiri siap seorang prajurit. Tatapan matanya bagiku mengandung hawa dingin yang mistis. Membekukan udara sekitarnya. Memadatkannya, membuat ku sesak bukan main. Fabio mematung. Ajaib isaknya lenyap seketika. Wanita penyembuh yang hebat. Aku ingat amak pernah menyarankan metode penyembuhan alami. Mengobati cegukan dengan mengagetkannya. Hasilnya terbukti. Entah sugesti atau bukan. Yang pasti aku sembuh. Amak pantas dianugerahi nobel. Penemu obat alami terhebat di dunia. Setelah kejadian ini aku menambahkan satu manfaat rasa kaget, menghilangkan kesedihan yang kau rasakan. Hipotesa yang muncul dari observasi lapangan terhadap kejadian yang dialami oleh Fabio.

Fabio berlalu. Ada tali kasat mata yang seolah menyeret langkah Fabio berlalu secepat kilat mengikuti wanita berwajah horor itu. Sebelumnya Fabio terserang tipus. Hampir satu bulan ia tak datang ke sekolah. Menahan sementara semangat membara yang haus akan ilmu. Menambah deret pertanyaan yang semakin menggelembung, gatal untuk segera ditanyakan kepada guru kami. Ia tidak pernah tertinggal. Memaksakan tubuh lemahnya untuk hadir di lima hari ujian kenaikan kelas. Kau lihat hasilnya, tak pernah mengecewakan. Ia tetap juara, nomor tiga turun satu tingkat dari yang biasanya.

Tapi kenapa Fabio menangis? Satu alibi yang pernah kukarang sendiri. Aku jago mengarang hingga terkadang keterampilan itu menjerumuskanku kepada perangai buruk, membual. Wanita berwajah horor, ibunya Fabio, ialah biang keladinya. Fabio takut pada ibunya itu melebihi takut kami anak-anak SD kepada Tukang Cawek. Lelaki penjual ikat pinggang yang berpenampilan gotik mistik. Baju yang dipakainya penuh tambalan. Kacau balau, itulah kondisi yang menggambarkan wajah, rambut dan penampilan lelaki itu. Hidupnya adalah bangun subuh-subuh, menjinjing puluhan ikat pinggang dan sisir, berjalan menyusuri kampung, tak pernah berteriak-teriak menawarkan barang daganganya, diam seribu bahasa. Dan hanya akan berhenti bila ada yang memanggilnya. Pesanku jangan sekali-kali menawar harga padanya. Harga pertama yang meluncur dari mulut baunya adalah harga mati. Bila dia tak setuju ia pun berlalu tanpa babibu.

Ia suka memakan anak kecil begitulah gosip yang berhembus di kalangan kawan-kawan kecilku. Kami semua percaya walau tak terbukti. Bila kami berpapasan di jalan dengan lelaki gotik mistik itu kami memilih mundur teratur. Prinsipnya, kalah untuk menang. Prinsip yang nyeleneh.

Dalam bayanganku, wanita horor itu menyeret tubuh kecil Fabio menuju kamar mandi bermarmernya. Kepala gadis manis itu kemudian dibenamkan berkali-kali kedalam bak berair. Fabio menjerit-jerit histeris, berusaha melawan namun sia-sia. Megap-megap saat wajahnya terangkat dari kolam bak. Terbatuk hingga muntah karena air bak yang terminum. Mengiba, memohon ampun kepada wanita berwajah horor itu untuk segera menghentikan perbuatannya. Apa daya ia hanya gadis kecil 9 tahunan. Tak akan mampu melawan tenaga wanita dewasa yang ada dihadapannya itu. Pasrah menunggu sampai wanita itu penat sendiri. Atau sampai ia pingsan tak tahu diri, dan berharap ketika sadar ia sudah berada di atas tempat tidurnya yang empuk.

Wanita itu inginkan Fabio gadis manisnya untuk menjadi yang pertama mengungguli gadis pengoleksi kancing itu. Namun dari kelas satu hingga lulus SD gadis mungil yang nyaris invisible itu tak pernah mau beranjak dari posisinya, pemegang nomor wahid. Hingga Fabio dan orang tuanya hanya bisa puas untuk menjadi yang kedua. Tapi kali ini jangankan menumbangkan gadis pengoleksi kancing itu, mempertahankan posisinya saja Fabio sudah tak mampu, turun satu peringkat. Itulah yang membuat wanita berwajah horor itu kecewa bukan main. Ia hilang kebanggaan. Fabio telah membuat kesalahan yang fatal. Ia telah mengecewakan hati ibunya. Bagi wanita horor itu, setiap kesalahan harus diganjar dengan hukuman agar tidak terulang di kemudian hari. Jelas sudah, bayangan hukuman yang akan diterimanya nanti dari sang ibulah yang membuat Fabio menangis sesegukan, meraung sejadi-jadinya dihadapanku sore itu.

”Dis ... ” Aku kaget luar biasa. Lamunanku buyar berserakan. Fabio mengerlingkan mata bulatnya. Menarik jiwaku untuk kembali pulang ke sarang. Berhenti berkelana melanglang buana menembus tembok ruangan kelas ini. Kembali mengisi raga yang sebelumnya sepi ditinggal sendiri.

Sesosok tubuh tambun berdiri dihadapanku. Entah sudah berapa lama. Matanya nanar menatapku. Kepalanya menggeleng 3 sampai 4 kali, reaksi yang sering kutemui. Ia menghela nafas berat. Bibirnya memang tersenyum, tapi jelas sekali itu dipaksakan. Tolong jangan mempersulitku. Kau tahu kakiku terasa melepuh berlama-lama berdiri menunggu kau sadar dari hayalanmu. Menahan bobot yang tidak enteng seperti tubuh mungilmu, sungguh penat bukan kepalang. Setidaknya berilah kesan yang baik di hari pertama perkenalan kita ini, anakku. Barisan kalimat itu seolah arti tatapan nanar guru bertubuh tambun itu.

Aku menyesal luar biasa. It’s no use crying over spilt milk. Semua telah berlalu dalam hitungan detik. Rasanya juga tak berguna bila kami berkenalan dengan cara yang formal. Aku menjabat tangan ibu Dewi, menyebutkan nama, alamat, hobi, jenis kelamin atau entah apalagi rasanya akan sama saja. Ribuan kali pun bertemu denganku, orang pasti akan mengaku itu adalah pertemuan pertama. Pertemuan dengan gadis pengoleksi kancing. Gadis yang nyaris invisible. Aku tersenyum kecut dan mengalihkan pandangan ke arah Fabio. Gadis berkumis tipis itu tak tahu aku memandangnya. Ia serius menyimak nama-nama yang dipanggil Ibu Dewi. Melirik sebentar kearah pemilik nama dan kemudian mengembangkan senyum tanda perkenalan.

Fabio, kawan kecil terbaikku. Pahlawan penjaga bualan Simpsonku, kiblat mode dan sumber informasi dunia kanak-kanak kami. Pujangga sekaligus pendongeng handal. Aku bersyukur karena jauh dilangit ke tujuh sana, Tuhan telah membuat catatan takdir yang mempertemukan aku dengan gadis berkumis tipis itu. Dimulai ketika sebuah serutan lucu yang dipertontonkannya padaku. Kalam betuah yang masih dijalani hingga kini, sebagai dua orang dari kurang lebih 250 murid baru angkatan ke 40 SMP Negeri Tercinta.