Allah itu Maha Keren (1)


.

Kawan, Tuhanku MAha Keren … Allah namaNya.

Tahukah kau, Ia Maha ghaib, tak ada wujud tak ada rupa, tak ada gambaran fisik atau badaniah tentangNYa. Ia ghaib. Bukankah itu luar biasa. Apa jadinya bila Tuhan terlihat dalam fisik yang nyata. Disaksikan oleh ciptaanNya, rupa dan penampilanNya. Pikirkanlah, Ia akan menjadi tak berharga. Dicontoh, ditiru oleh makhlukNya sebatas fisik yang sempurna, ditakuti dipuji sebatas keberadaan yang diketahui, pun mungkin diagungkan dihina sebatas penglihatan mata. Akan ada penilaian, tentu saja semua berlandaskan materi, sebatas yang tampak oleh mata, bukan karena keyakinan.

 Ia ghaib. Bukan berarti sulit mengenalNya. Allah mengajarkan manusia tentangNya melalui sifat dan nama-nama agung yang melekat padaNya. Bukan dari fisik atau rupa. Bukankah ini salah satu bentuk pelajaran bagi kita kawan, bahwa Allah tak menilai manusia karena keelokan rupanya, tapi karena sifat atau akhlaknya. Mukhalafatul lilhawaditsi, ia berbeda dari makhluk, berbeda dari ciptaannya. Sifat Allah yang menjadi jawaban atas kebertele-telean pertanyaan manusia. Bukankah itu cukup? 

Ia ghaib, berada dimana saja, tak ada batas ruang dan waktu. Mengawasi kita setiap jam, setiap menit, setiap detik atau bahkan setiap hitungan masa yang lebih kecil dari detik sekalipun. KeberadaanNya, bisa beratus meter dari kita, atau bahkan sangat dekat melebihi urat leher manusia itu sendiri. Ia ghaib, tak berwujud tak tampak. Ahhh, jangan berkilah lagi kawan. Ia ghaib bukan karena Ia penakut ataupun sembunyi. Justru karena kasih sayangNya yang Maha luaslah sehingga Ia tak menampakan diri. Cukuplah rasanya kisah Nabi Musa bertemu Allah di atas Bukit Thursina yang menjadi pelajaran bagi kita. Ketika Allah menampakan diri, sang Nabi pingsan tak kuasa, bahkan sebuah bukitpun luluh meleleh rata tak bersisa. 

Sudahlah, jangan banyak tanya lagi, kawan.


Allah itu ghaib.  Tak terlihat rupa dan warnaNya, karena itulah kawan, sungguh Allah Maha Keren … 

Bukan Semalam di Malaysia, Tapi 2 Jam di Bukittinggi


.

Ini judul apa curhat ya, panjang amat …. Hehehe. Ya tapi begitulah kenyataannya. Ini bukan tentang Malaisya negara yang terkenal dengan menara kembarnya itu, bukan tentang lagu “semalam di Malaisya” apalagi tentang ipin upin kartun buatan Malaisya yang bisa tembus Disney channel. BUkaann. Ini adalah tentang Bukittinggi dan Aku, aiiiiih, romantisnya. Jadi begini ceritanya, kata ustad, kalau ngaku beriman sama Allah maka harus yakin dan percaya kalau jumlah rejeki yang kita dapat setiap bulan atau tahunnya tak pernah bisa diprediksi. Alias ga bisa dihitung secara tepat. Artinya ada yang namanya rejeki  yang Allah siapkan melalui cara atau jalan yang tak terduga atau tanpa disangka-sangka. JAdi ga cuman mengharapkan gaji bulanan tok, tapi yakin dan percaya pintu rejeki itu bisa darimana saja.

Nah, tanpa diduga dan dinyana justru rejeki itu menghampiri saya. Tepat tanggal 1-3 Juli kemaren sebuah titah pun turun dari langit, ahaiii, sebuah surat yang cukup bikin hati cenat cenut berantakan, bikin pegel linu di badan lenyap seketika, bahkan saking senangnya saya tidak lagi memikirkan terjemahan kata “galau” dalam bahasa sanskerta. Bagai punguk merindukan bulan, bagai burung lepas dari sangkar, akhirnya salah satu impian saya terwujud juga. Senangnyaaa. Allah Maha Baik, sebuah surat dinas mengharuskan saya terbang ke kota kelahiran, ranah bundo kanduang. Padang.

Karena tak punya waktu banyak, kesempatan untuk singgah ke BUkittingi tidak saya sia-siakan. Saya sengaja mengambil penerbangan paling pagi ke Padang, boarding jam 6.20 WIB. Huhuhu, butuh perjuangan yang luar biasa. Sebelum subuh sehabis sahur, saya sudah harus mandi dan packing. Tepat jam setengah 4 pagi saya langsung tancap gas menuju gambir, dengan diantar sepeda motor. Gambir, masih sepi, ya iyalahhh, masih pagiii. Damri menuju bandara sudah stand by, ada 5 sampai 6 bis yang parkir. Saya melirik jam, 4 kurang 15. Belum imsak apalagi subuh. Karenanya dengan soknya saya memperlambat tempo, artinya kecepatan berjalan saya tak lagi seganas waktu berangkat dari rumah. Saya malah sok-sok an pakai mampir beli makanan ke minimarket. Memperlambat tempo ceritanya, toh damrinya juga belum jalan, masih jam 4 masih keburu, pikir saya. Eh, ternyata lagi asyik belanja saya ditinggal damri.

Saya berlari melambai-lambai, sampai mengirim sinyal SOS kepada drivernya, tapi tetap tak digubris. Akhirnya saya pasrah naik bis berikutnya yang jalan setangah jam kemudian. Walau penuh harcem (harap cemas), akhirnya sampai juga dibandara jam 5.15an. Saya langsung check in dan memilih langsung ke ruang tunggu dan menuju ke mushala untuk shalat subuh. Tepat jam 6.20 pemberitahuan untuk masuk ke pesawatpun terdengar. Dengan nasionalisme yang tinggi dan merah putih didada, saya akhirnya masuk airline yang selalu mengingatkan saya pada lagu Garuda di Dadaku itu … hehehe.

Tepat jam 8.15 pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Wuiiih senangnya. Berdasarkan instruksi dan arahan dari beberapa pakar perkampungan (baca: orang yang sering pulang kampung), saya bisa naik ojek atau pun taksi dari bandara menuju ke travel tujuan Bukittinggi. Dengan nasionalisme yg mulai tergerus oleh sukuisme akhirnya saya memilih naik ojeg dengan harga 10 ribu saja. Sebenarnya juga bisa naik taksi dengan harga 15 ribu ke travel. Mencari ojeg memang sedikit susah. Jadi pilihan tergantung pada keuangan anda-anda sekalian. Sesampai di travel saya beli tiket tujuan BUkittinggi seharga 40 ribu, sayangnya bis ke BUkittinggi baru berangkat jam 10. Adalah saya akhirnya menunggu, untungnya ada teman ngobrol, seorang ibu sekitaran 60 tahun lebih. Bis datang tepat waktu, atas anjuran ibu teman ngobrol saya itu, akhirnya saya setuju untuk duduk didepan berdua dengannya, disebelah supir. Tidak rugi, karena sepanjang perjalanan mata saya puas menikmati keindahan alam yang dilalui selama perjalanan. Bukit dengan lembah yang terbentang dikiri dan kanan jalan. Semua tampak hijau, menenangkan mata yang melihat. Amboiii, rancak bana. Bis juga melewati lembah anai, salah satu objek wisata berupa air terjun. Perjalanan memakan waktu hampir 2 jam setengah. Pada travel ini, penumpang bisa rekues untuk diantar sampai alamat. Namun sekali lagi, dengan congkaknya saya lebih memilih turun di pul-terminal akhir bis travel. Saya berjalan sekitar 20 meter menuju aur kuning, karena bingung mencari angkutan umum yang dulu biasa saya tumpangi waktu sekolah menuju rumah, akhirnya saya mutar-mutar tak tentu arah. Hampir setengah jam, akhirnya tanpa rasa berdosa angkot putih bulukan itu nyengir-nyengir kuda tepat ditempat yang pertama kali saya lalui. Halahhh ….

Jam 1 teng, akhirnya saya menginjakkan kaki di rumah kelahiran saya. Sedikit haru biru, melow, nangis-nangis bawang bombai, saya lihat setiap jengkal rumah yang pernah saya tinggali hampir 18 tahun itu. Banyak kenangan, pasti dong. Setelah lepas kangen dengan etek (adik ibu saya) akhirnya jam didinding berdentang dengan sadisnya. Tiga kali. Apa artinya? Artinya Cinderella harus segera pulang, melepas sepatu kaca, dan mengikuti instruksi sutradara untuk pura-pura rela dizolimi ibu tirinya. Hehehe … artinya saya harus segera kembali ke travel yang mengantarkan saya ke Padang. Haaaah, perjalanan yang cukup singkat, tapi lumayan menyenangkan, lumayan kembali mencairkan kenangan-kenangan yang sempat terlupakan, atau sengaja dilupakan.

Nah, untuk ke Padang, saya dikenakan biaya 35 ribu, diantar sampai ke alamat. Tepat jam 7 lebih dikit, diantara malam yang gelap dan pekat, disertai hujan lebat saya sampai juga di Hotel tempat saya menginap di Padang. Bertemu teman-teman yang telah dengan setia menahan lapar, menunggu kedatangan saya untuk makan malam bersama. Ahhhh senangnya.


Allah memang Maha baik, Maha keren … Moga next time rejeki yang ga diduga-duga itu datang lagi yah, Paling tidak jangan cuma 2 jam, tapi semalam di Bukittinggi. Amiiin.