Once In a Live Time (Ga lagi-lagi dech!!!)


.

“Ih mba, satpam aja ga ada yang berani patroli malam-malam ke tempat itu.” Wajah lelaki muda sedikit menegang. Mencoba meyakinkan. Tak usah susah payah dia berargumen , aku juga percaya. Apalagi dilihat dari wajah lelaki muda itu, sepertinya ia sudah ditakdirkan untuk selalu berkata benar, menjunjung tinggi dasar Negara, berKTP dan tak akan terlibat tindak pidana apapun. Paling parah yang pernah diperbuatnya mungkin hanya kentut diam-diam dan tidak mengaku setelah penciuman sekitarnya terpolusi. Wajahnya, gurat yang gampang sekali untuk dibaca. Wajah orang Indonesia pada umumnya, a man in the street, you know!

“Syukurlah, tapi ga lagi-lagi dech.” Aku terengah-engah. Jari jemariku masih terasa gemetar dan memang gemetar. Kejadian yang baru aku alami adalah sebuah takdir buruk. Bila mengambil perbandingan maka akan muncul angka 1 berbanding 100. Karena ini memang langka terjadi di dunia. Ketika bola golf terlempar di tengah padang yang luas, dan ”puuuk” bola kecil itu mengenai jidat nong nongmu. Bukankah itu sebuah kesialan? Kenapa harus jidatmu, masih banyak tempat lain tempat bola itu mendarat, bukan? Pohonkah, tanahkah, batukah atau terlempar jauh ke angkasa luar sanakah. Seperti itulah perumpamaannya. Tiga hal saja yang mungkin bisa menjadi penyebab utama kesialan ini terjadi padaku. Pertama, faktor kurang inteleknya aku sebagai korban, lebih jelasnya kebodohan atau ketololanku sendiri, internal problem, you know! Faktor kedua adalah karma. Aku percaya karma. Simplenya kalau kau berbuat jahat cepat atau lambat kau akan terkena ganjarannya juga. Mungkin dosa di masa lampau dibalas dengan ini. Seperti suatu waktu aku telah berlaku jahat karena berghibah. Hasilnya batang hidungku hampir patah karena menyenggol tiang palang kereta. Itulah peringatan dibalik karma.

Faktor ketiga datang dari luar, lingkungan. Yup, bisa keisengan seseorang atau keisengan makhluk kasat mata. Xixixixixixi. Iam not kidding, you know.

Hari itu, 28 Mei 2009 untuk pertama kalinya setelah sekian lama tak menginjakkan kaki tepat ketika sidik jariku menempel pada mesin absen pukul delapan kurang. Butuh perjuangan yang keras untuk mendengar kata thank you dari mesin absen pada jam segitu. Perutku sakit. Wajar sekali karena tadi pagi aku belum ke toilet seperti pagi-pagi biasanya. Buru-buru ke kantordemi sebuah kata thank you. Toilet lantai dua tak bisa dipakai karena sedang dibersihkan. Sedangkan toilet bawah penuh terisi, mungkinkah semua orang sepertiku yang tak sempat p****p hanya karena mengejar waktu, hingga seluruh toilet terisi penuh pagi ini?

Toilet lantai 3 gedung baru, belum ada penghuninya. Emmm, maksudku belum semua karyawan dipindahkan kesana karena tak sepenuhnya selesai direnovasi. Apalagi kata-kata lelaki muda berKTP itu terngiang-ngiang di telingaku. Ih mba, satpam aja ga ada yang berani patroli malam-malam ke tempat itu.”

”Tapi toiletnya udah berfungsi kok.” Sebuah pesan yang kuingat. Kuseret langkah kesana. Berat memang, karena aku adalah si komplikasi. Penyakit penakutku akut, hayalan hororku luar biasa, nama-nama hantu kukantongi. Tapi perut dan hasrat untuk p****p lebih kuat. Ya sudahlah aku disana.

Singkat cerita si komplikasi ini menemui karmanya, dipermainkan oleh kekurang intelekannya dan terakhir diisengi what ever, karena kau tahu, AKU TERKUNCI DI DALAM TOILET. Mendorong pintu setan itu dengantenaga kuda. Mengetok-ngetok dan memanggil siapa saja yang mungkin kebetulan kesasar lewat ke sana. Panas bukan main. Memang tak sampai lima menit aku terkurung disana. Karena kau tahu, bukan tenaga kuda atau teriakan minta tolong yang dibutuhkan saat itu juga. Tapi ketenangan, don’t be panic, you know!

Pintu terbuka, walaaaaaaaaaah. sebegitu mudahnya. Tak ada pangeran penyelamat, atau paling tidak OB.

Satu yang pasti. Ini peringatan dibalik karma. Saranku janganlah kau berghibah, mengunyah petai atau jengkol ketika hendak diwawancarai atau hal bodoh dan buruk lainnya. Karena lambat laun semua akan dibalas.

Percaya padaku, kalau tidak kau akan terkunci didalam toilet. YOU KNOW!