Lelaki Pelontar Jumroh
.
Jumroh. Begitulah orang-orang kampung memanggilnya. Bila ditanya tak banyak yang tahu pasti siapa nama asli lelaki berkulit hitam pekat itu. Ku tangkap satu maksud kalau peringai lelaki itulah yang menyebabkan orang-orang memanggilnya Jumroh. Lelaki pelontar jumrah tepatnya. Setiap hari berjalan menyusuri kampung. Tak beralas kaki. Tidak lebih dari tiga hal tentang lelaki itu. Duduk berjongkok, memungut beberapa buah kerikil dan kemudian melemparnya kesegala arah. Persis seperti orang yang sedang melempar jumroh, ula, wusta dan aqobah. Mungkin karena perangainya itulah ia dipanggil jumroh.
Sepertinya di depan lelaki itu sering bercokol setan-setan yang tiada henti memperoloknya. Menghina tubuh cekingnya yang kumuh dan semakin tak bergizi itu. Tak sembarang, jumlah kerikil itu pun dihitungnya, sama sebanyak setan-setan yang ada dihadapannya. Menghalau mereka lintang pukang berhamburan. Sejenak setelah itu Jumroh menengadahkan wajahnya ke atas langit. Ia tersenyum. Penuh kemenangan, tersirat di sudut bibir coklat keringnya itu. seolah disana dibalik awan putih itu mengintip malu-malu seraut wajah kecil nan lucu bersayap dan bermahkota daun, tersenyum menyambut kemenangan Jumroh. Begitulah setiap hari setiap waktu.
Muhammad Wahid Natsir. Nama asli lelaki pelontar jumroh itu. Ayahnya seorang ulama besar di kampungku. Natsir kecil adalah seorang jenius. Pandai bukan main di sekolahnya. Aljabar dan ilmu alam dikunyah seperti makan bubur saja baginya. Mengaji Al Quran pun jangan ditanya. Sering diminta sebagai perwakilan kampung dalam acara MTQ antar kampung. Luar biasa.
Namun kemalangan apa yang membuat Natsir kecil nan jenius menjelma menjadi Jumroh? Saat menamatkan pendidikan tsanawiyahnya, malang sang ayah meninggal dunia. Sawah peninggalan ayahnya yang cukup luas diambil alih oleh pamannya. Tinggalah Jumroh dan ibunya miskin merana. Mimpi yang pernah digantungkan untuk bersekolah tinggi pupus sudah. Selang sebulan ayahnya meninggal menyusul pula ibundanya menghadap sang Khalik. Jumroh yatim piatu. Tak siap dengan musibah yang beruntun. Kepala jumroh panas. Ia mulai meracau sendiri. Dan melempar kerikil di jalanan.
Jumroh. Terakhir ku melihat ia 8 atau 10 tahun yang lalu. Entah bagaimana ia kini. Dulu ada binar dan gairah yang menggebu terperangkap dalam mata letih Jumroh yang kulihat. Kepintaran itu masih ada disana. Hidup serupa api dalam sekam.
Jumroh ... jumroh ... Ku bertanya masih adakah setan yang menggodamu?
Ini, kerikil untukmu.