New Year, HappY??!!!


.

Tahun baru, resolusi baru.

Aku terjepit. Napasku sesak minta ampun. Tanganku menggapai apa saja. Tak ada toleransi sedikit pun disini. Kerumunan orang-orang saling mendorong. Tubuh kecilku terhuyung kedepan ke belakang tak tentu arah. Anak-anak menangis. Suara teriakan berseliweran di telinga. Nafsi-nafsi. Hukum rimba berlaku, yang kuatlah yang bertahan. Selainnya tinggal menunggu malaikat maut memanggil. Inikah akhir riwayat hidupku?

Ngeri. Aku bergidik. Ini tragedi. Langit muram menyeramkan. Meluncurkan titik-titik kondensasi yang serupa anak panah mengkocarkacirkan umat dibawahnya. Sungguh buruk. Airmataku meleleh bercampur air hujan yang mengenai wajah pasrahku. Tenggorokanku kering, panas. Jari-jari kasat mata melingkar di leherku. Makin lama makin menekan batang tenggorokku hingga aku tercekat tak bisa bernapas. Tuhan, jangan biarkan aku mati dulu. Masih banyak yang belum aku lakukan. Untuk dunia, umat, orang tua bahkan untuk diriku sendiripun, tak seujung kuku. Setidaknya jangan biarkan aku mati dengan cara seperti ini. Terlalu tragis. Menjadi korban, mayatku terkapar di tengah jalanan beraspal atau membusuk di selokan setelah sebelumnya jatuh terjungkang terdorong lengan-lengan kasar. Esok paginya, di tengah libur nasional, siaran tv tidak saja memberitakan event semalaman menyambut tahun baru tapi juga berita tentangku. Namaku akan berderet di antara nama-nama lain. Bukan sebagai nama pemenang undian sabun colek, tapi sebagai korban sebuah tragedi.

Aku menutup mata. Mencoba berharap ini hanya mimpi. Ketika kelopak mata ini membuka, aku telah berada di tempat tidur hangatku. Bukan di tengah lautan manusia seperti saat ini. Sumpah serapah sebelumnya meluncur dari bibirku. Menyalahkan segalanya yang bisa disalahkan. Menyalahkan Uda, menyalahkan sopir bajaj, hujan, jalanan, langit, pohon, tahun baru, menyalahkan angka 1, menyalahkan angka 2008 serupa angka buatan hantu belawu saja bagiku, menyalahkan deretan patung kuda yang terhampar di tengah persimpangan jalan besar ibu kota ini- patung itu, tiba-tiba terlihat sangat buruk tidak ada nilai seninya, membuang-buang anggaran negara saja. Aku menggerutu. Juga menyalahkan Ungu.

Malam tahun baru. Ini pelajaran penting.

”Besok siang singgah ke rumah ya?” Kuingat uda menyunggingkan senyum terindah waktu itu. Seharusnya aku sudah bisa membaca sebuah pertanda. Setidaknya dari wajah Uda yang kurang lebih mirip Pasha Ungu itu. Uda meminta aku untuk berkunjung ke rumahnya di Sabang, jalan Jaksa, tepat 31 Desember 2007.

Pukul tujuh malam aku pamit pulang dari rumah Uda, menumpang sebuah bajaj. Setelah sebelumnya hampir puluhan abang bajaj menolak mentah-mentah mengantarkan ke arah Senen dengan berbagai alasan. Alhamdulillah, ada satu yang mau.

Dan sekarang aku terjebak. Bajaj yang kutumpangi tak sedikirpun bergerak. Suara mesin nyinyirnya terkeok. Juga terjebak di tengah tumpukan ratusan kendaraan lainnya. Dari atas kulihat ratusan manusia menggantung pada KRL yang melaju. Serupa semut yang menggerayangi tumpukan gula. Dijalanan manusia tumpah ruah. Bergerak kesegala arah. Sayup-sayup terdengar alunan lagu yang liriknya tak asing di telinga. Pasha Ungu. Ada konser mereka di Monas menyambut tahun baru 2008. Orang-orang ini hampir separuhnya adalah calon penonton konser itu. Bergerak ke arah Monas, memenuhi jalanan, melumpuhkannya entah sampai kapan.

Tidak mungkin duduk manis menunggu hingga pagi di tengah macet yang tak ada ujung ini. Apalagi di dalam bajaj yang abangnya tak putus-putusnya menggerutu, menyesal sepenuh hati telah menerima tawaranku sebelumnya. Aku memilih meninggalkan bajaj dan menempuh perjalanan, berbasah-basah di tengah hujan. Penderitaanku belum selesai. Ada ribuan, oh tidak ratusan ribu mungkin jutaan manusia di tengah jalanan ini. Menyelip diantara kendaraan yang tak bernyawa sementara.

Aku menepi hingga ke trotoar. Disinilah puncak penderitaanku. Aku terapit diantara kerumunan manusia. Terdorong-dorong. Berpikir mungkin ini pulalah yang persis dirasakan oleh para penerima zakat di Pasuruan, terdorong, tersungkur, terjerambab, jatuh mencium tanah dan tubuhnya terinjak-injak demi tiga lembar sepuluh ribuan.

Aku berhenti menyumpah-nyumpah. Akan bertambah buruk cerita kematianku, bila diakhir hayatku pun bibirku masih mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Bukankah di setiap doaku aku inginkan mati secara husnul khatimah.


Desember 2008. Tahun Baru, undangan baru ....

”Besok singgah ke rumah ya.” Uda berkacak pinggang membelakangiku. Wajah pasha ungunya luput dari penglihatanku. Tak bisa kubaca pertanda apa ini?

Mungkinkah?!!

Jakarta, 30 Desember 2008