Cinta Cenat Cenut


.

Untuk kamu ....

Malam ini sama seperti malam2 sebelumnya, tak jelas sudah berapa lama, dua bulan ini tepatnya. Kembali kuselipkan sebuah pinsil 2B tumpul di telingaku. Dasi pramuka merah putih ponakanku yang baru dilantik jadi anggota pramuka siaga kamis petang kuikat kuat melingkar dikeningku. Ikatannya sedikit membantu mengurangi beban berat yang sekarang hinggap di kepalaku. Menyusun strategi terbaik, fokusku. Jangan sampai semua seperti yang sudah2. Aku berpikir keras. Berkali2, kutulis, kuhapus, kultulis, kuhapus, kutulis lagi, kuhapus lagi .... begitu seterusnya. Hampir satu jam lebih. Bulir2 keringat mulai membasahi wajahku, maklumlah, beberapa hari ini listrik di rumahku lagi naik turun tensinya, awalnya sedikit sensitif. Lama2 malah hidup dan mati sesukanya. Hingga penggunaan alat eletronik seperti kipas angin pun harus sedikit dikurangi dalam rangka peningkatan toleransi terhadap daya listrik yg pas2an. Mulai tahu diri, bahasa kerennnya.

Otakku mulai kendor, uapan berkali2 meluncur dari mulutku, mataku merah basah. Semangatku anjlok ke titik terbawah. Tatapanku mulai kabur, aku mulai menyerah. Hasilnya tidak bisa dibilang buruk. Coretan2 disana sini, sebuah konsep. Penuh dengan alur2 rumit yg hanya dimengerti olehku saja. SOP (Standar Operating Prosedur) untuk Para Pejuang, judulnya. Kutulis besar2. Tepat dibawahnya kutulis sebaris kalimat, Kali ini Harus Berhasil Tak Boleh Gagal Lagi, dengan 10 pentungan tanda seru di belakangnya. Memang tak jauh beda dari yg sebelum2nya. Cuma ada perbaikan sedikit disana sini. Walaupun sudah kukerahkan segala macam ilmu dan pengalaman, mulai dari baca artikel dikoran, majalah, internet, minta asupan nasihat sana sini, dengan sedikit menekan rasa malu, bahkan aku juga belajar dari cerita2 yg ada di drama. Tapi tetap saja konsep strategi ini masih compang camping kurasa.

Pagi ini, semangatku menyala2, tubuhku panas, menggelinjang tak bisa tenang. Kertas konsep itu, SOP untuk Para Pejuang masih tergenggam rapat ditanganku. Resah bukan main. Persis seperti menunggu pembagian raport kenaikan kelas. Lamat2 kulatih hapalan yang kukonsep semalam suntuk. Sekali2 kucuri lihat salinan mantra sakti SOP. Mataku mengerjit mengingat2 bila ada bagian yg terlewati, karena hari ini harus sempurna. Apapun itu, pilihan kata, mimik wajah, intonasi suara, bahasa tubuh sampai helaan nafas jangan sampai ada yg meleset dari yg telah direncanakan. Aku anggukkan kepala mencoba meyakinkan diri. memberi semangat diantara keraguan yang hilang timbul.

"Hai, selamat pagi. Kebetulan saya bawa makanan nih, kamu mau?" Sebuah suara mengagetkanku. Lelaki itu. SOP sang pejuang lepas dari genggamanku. Aku kalut. Udara tiba2 beku menyesakkan. Tak ada oksigen, terlalu berat dan padat. Napasku memburu berhembus cepat2. Detak jantungku kacau balau. Tubuhku seolah menciut hingga seujung kuku, tinggal dilentingkan atau terinjak, tamatlah aku. Aku seperti orang tasapo atau terkena si jundai. Resah. Konsep yang kukarang semalam suntuk rontok satu persatu.

"Kamu kenapa?' Tanya lelaki itu lagi.
"Engga". Sebuah suara pendek datar, kaku, seperti baru saja keluar dari alam kubur, mengerikan, terngiang2 di telingaku. Oh tidak, suara itu adalah milikku, keluar begitu saja. Intonasinya jauh dari yg direncanakan. Persis seperti sebuah suara penolakan seorang istri yang diminta balik oleh mantan suaminya setelah ditalak 3 kali dan diselingkuhi berulang2. semua menjadi tidak karuan. Tubuhku menegang, tulang2ku seolahbermetamorfosis menjadi besi2 tua rongsok. gerakku kaku. Berderik2. Wajahku nanar. Hawa panas mengitar senang diatas ubun2ku. Aku siap meledak.

"Beneran ga mau?" Suara lelaki itu lagi. terdengar mulai tida antusias. Mungkin ia menyesal luar biasa telah menawariku sebelumnya. ia menatapku serius.
"Emmm, engga. Makasih." Tolak suaraku lagi. Kali ini lebih santun tapi tetap terdengar aneh. Persis seperti suara si inem pelayan seksi yang menolak ajakan mesum majikan prianya. Lelaki itu beranjak cepat tak berani kulihat. Mungkin saja ia setengah berlari meninggalkanku. Menyelamatkan diri tepatnya. Tempatku ini terlalu horor baginya.

Kini tinggalaah aku sendiri. Lunglai. sedih bukan kepalang. Kemana konsep2 gila itu. Aku meradang. Perih sungguh. Lamat2 kembali kulafazkan hapalanku. Hai, apa kabar? Weekend kemana aja? Wah, kangen nih sama kamu. Udah sarapan belum? aku bawa roti nih khusus buat kamu. Enak kan? Suaraku terdengar normal, ringan dan renyah. Tidak seperti suara istri yang ditalak 3 kali atau suara memelas inem si pelayan seksi.

Untuk kamu yang tak pernah tahu. Malam ini kembali ku berpikir keras. Pinsil 2B tumpul menyelip betah di kupingku. Tak lupa lilitan dasi pramuka terikat kuat di keningku. Aku frustasi.

Siapa bilang jatuh cinta berjuta rasanya. Bagiku, cenat cenut.



Jakarta 24022011

Kasiah Tak Sampai


.

Kasiah tak sampai artinya kasih yang ga kesampaian kurang lebih itu deh artinya. Ini bukan cerita tentang Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang kisah kasihnya tidak sampai, apalagi drama korea endless love yang mengisahkan kasih dua saudara Ensu dan Jusu yang juga berakhir tragis. Bukan, bukan banget.
Sumber gambar : Google
Kasiah tak sampai adalah judul lagu Minang yang dipopulerkan oleh Elly Kasim (semoga tidak salah). Nah, saya yang secara de euro dan defakto adalah asli cetakan Minang, sudah akrab dengan lagu-lagu Minang. Dan salah satunya adalah Kasiah Tak sampai. Dan ini adalah salah satu lagu Minang favorit saya.


Berikut liriknya.
Kasiah Tak Sampai
Malang bacinto bintang jo bulan
Kasiah digungguang dek matoari
Bia bacarai nyao jo badan
Putuihlah tali jantuang jo hati
Cinto ka uda den baok mati
Ka dalam tanah maik bakubua
Datang malaikaik yo nan batanyo
Apo kadayo yo nan takana
Kasiah ka uda nan indak sampai
Yo nan takana, kasiah ndak sampai
Cinto den indak ado duonyo
Cinto den hanyo ka uda surang
Bia mangamuak topan jo badai
Cinto den indak ado duonyo
Bia di dunia kasiah ndak sampai
Yo di akhiraik den nanti juo
Uda den nanti dalam sarugo
Cinto den indak ado duonyo
(Ciptaan Syahrul Tarun Yusuf, Dipopulerkan oleh Elly Kasim)

Sumber video : www.youtube.com

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia


.

By. Taufik Ismail

I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

1998