Bagiku "Hujan"


.

Ketika kau bertanya, apa yang paling aku suka?
Hujan. Aku sangat menyukai hujan. Hujan menciptakan hawa dingin. Kau akan semakin nyenyak tidur di bawah gulungan selimut saat hujan membasahi bumi. Bagiku hujan adalah media sosial, perantara orang yang tidak saling mengenal menjadi mengenal satu sama lain akibat campur tangannya. Luar biasa. Bagaimana bisa? Bila kau suatu waktu terjebak di tengah jalan sana saat hujan turun. Maka kau akan memilih tempat berteduh untuk sementara waktu. Misalnya di sebuah warung yang mungkin kau kunjungi bahkan kau lirik pun tak pernah bila tak musim hujan. Menyapa dan menegur pemilik warung sekadar basa-basi semata agar pemiliknya merelakan sedikit lahan di pojok warung doyongnya sebagai tempat berteduh. Bergabung bersama mereka yang juga punya nasib yang sama "terjebak di tengah hujan". Menunggu hujan, menatap langit akhirnya mengakhiri kebosanan dengan berbincang-bincang dan mengenal satu sama lain. Bertukaran nomor hp. Komunikasi pun berlanjut di kemudian hari. Siapa tahu diantaranya ada yang berjodoh, atau menemukan teman lama atau bahkan saudaranya yang hilang bertahun-tahun yang lalu. Dahsyat sekali, bukan?
Tahukah kau, saat hujan turun adalah waktu yang baik untuk berdoa. Berkah turun dari langit. Menyapu permukaan bumi dengan alirannya. Mengikis kotornya bumi akibat tangan manusia. Berkah bagi umat. Kenapa? Hampir 90% tubuh manusia terdiri dari kandungan air. Dua pertiga bumipun dilimpaji oleh zat cair ini. Porsi yang luar biasa diberikan Tuhan kepadanya. Dan semuanya diperuntukan untuk manusia. Melalui hujan, zat cair yang berperan penting itu dilimpahkan ke bumi.
Hujan adalah ajang penyatuan keluarga yang terbiasa sibuk dengan rutinitas egois sehari-harinya. Dipaksa terkurung di dalam rumah yang biasa berstatus kepemilikan semata. Mencoba mengenalkan kembali wajah-wajah yang mulai terlupakan. Wajah istri, wajah suami atau wajah anak-anak mereka. Terkungkung di tengah beranda yang mungkin bahkan mereka lupa kapan terakhir hal seperti ini pernah terjadi. Menunggu hujan. Berbagi cerita. Dan tanpa disadari mereka rasa kekeluargaaan yang mulai menipis itu kembali menggembung. Indah bukan.
Bagiku hujan adalah album memoar. Waktu untuk mengingat masa lalu.
Hujan adalah misteri ....

Bagaimanapun jalan beicek dan ga ada oujiek di saat musim hujan ....
Aku tetap menyukai suasana di saat hujan sudi turun ke bumi ....


Juanda, 29 Okto 2008

Malin Kundang yg Tak Dikutuk


.

Ingin rasanya menangis ... Merasa kosong, tiada berarti dan kecil.
Ku ingat bunda ... Wanita perkasa dengan tumpukan kepenatan ... Aku menyayanginya
Tuhan, Aku menyayanginya, aku mencintainya, aku mengasihinya .... Sungguh
Apalah aku anak yang tiada berguna ini.
Hanya bisa menyusahkan manusia mulia seperti beliau
Tuhan, akulah pendosa ... malin kundang yang tak dikutuk ...
Aku rajin mencatat segala kebaikan, menghitung, menimbang dan meminta balasan ...

Akulah manusia kerdil yang sombong ...

Tuhan, sayangi bundaku ...
Ampunkan segala kesalahannya ...
Gugurkan dosa-dosanya ...
Muliakan beliau ...

Aku mohon ....

Amiiin


Juanda, 23 Okto 2008

Ada Cinta di Busway (Jaket Almamater)


.

"Yang Kali deres jangan masuk dulu. Harmoni ... harmoni ... " Lelaki berseragam merah lada itu tampak semakin beringas bagiku. Bayangkan saja. Kulitnya yang hitam legam dengan dibalut seragam merah lada membuat siapa saja yang melihat akan berpendapat sama denganku. ia seperti dendeng yang habis disengai di tengah panasnya matahari waktu lohor. Tapi bila dicoba dilihat lebih teliti. Ya, mungkin sediakan saja sedikit waktu barang 10 detik ternyata muka dendeng itu punya senyum yang bagus. Seolah minum air kelapa muda dingin waktu buka puasa yang hari pertama Ramadhan. Sejuk, manis, menyegarkan. Mungkin itulah senyum yang berasal dari hati. Tulus, tanpa ada campur tangan negatif otak yang berkedok logika yang meyesatkan. Mungkin ini yang disebut bekerja dengan hati. Dari performance saja sudah terlihat kecuali orang katarak atau orang yang pura-pura katarak.

Tangannya menghadang antrian penumpang kalideres yang ingin menyerbu masuk ke dalam busway jurusan Harmoni. Ini bukan bis kalian, sabar, nanti juga datang, jangan mempersulit saya, antri saja dengan tenang. Mungkin itulah yang ada dalam otak lelaki dendeng itu. Bagiku menyelip antrian adalah sebuah pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran agama. Pelanggaran hukunm karena sudah nyata-nyata tertulis dalam norma kesopanan "Harap Antri" tapi masih dilanggar. Pelanggaran agama karena akan menimbulkan dosa. Orang yang diselip marah, menggerutu, menyumpah-nyumpah dalam hati dan yang paling parah akan memicu pertengkaran. Tapi hari ini pagi ini mau tidak mau aku harus menerobos masuk tidak memedulikan peringatan si dendeng merah lada. Palang tangannnya kukibas. Tak memedulikan tatapan mata sewotnya dibelakangku. Masuk is a must, saat ini detik ini, tak bisa dibantah dan tak terbantah.
Alasan telat, bukan itu kali ini. Masalahnya adalah emotion reason. Alasan nakal yang tidak berlogika. Karena yang kutahu tidak ada logika untuk rasa suka. lebih dari itu semua adalah rasa penasaran yang menggelayut.
Kuingsutkan badan tepat ditiang bus dekat pintu masuk. Mataku mencoba mencari-cari sosok yang selama ini membuat hatiku tidak hanya mencari tapi berkelana. Si Jaket Almamater. Dimanakah dia. bukankah sosok itu tepat dihadapanku tadinya mengantri di jalur yang seharusnya, Harmoni.
Penat mata ini mengitari tiap sudut bus. Aku berhenti tapi tidak menyerah. Bukankah masih ada esok hari. Perjuangan masih berlanjut. BANZAIIIII, ADES san ......

Teeeet .... teeeet .... teeeeeeett. Klakson bus gaban angkuh ini menohok berkali-kali ditelingaku. Seolah membuat anak telinga meloncat keluar dan mencari induk baru. Ada sebuah bis patas yang sengaja memakai jalur yang khusus disediakan untuk bus gaban ini. Woiiiiiii, ini wilayah gue, kau mengotori jalanku saja, dasar bis bau dengan penumpang yang juga bau. Itulah seolah yang ingin disampaikan oleh klakson sialan itu. Lamunanku berserak dengan dalam wujud wajah masam. Kulirik kembali pemandangan yang ada didepan sana. Bis patas berusaha sedikit menepi, tapi tetap saja bus gabanku tidak bisa menginsut ke depan.
Tak sengaja kepalaku mendongak ke arah kiri. Oh my godness, si Jaket Almamater itu ada disana. Persis dihadapanku. Sempat kumerasa dua bola matanya tertuju kepadaku. Menohok kearahku, tepatnya. Aku suka kata menohok untuk mendeskripsikannya. Terkesan tepat sasaran, keras, tajam, nakal, binal tapi punya estetika. Entah bagi orang lain.
Inilah yang kuidam-idamkan sejak lama. Bisa sebus dengan si Jaket Almamater itu. Dan ternyata di langit ketujuh catatan takdir itu ditulis hari ini.

Tak perlulah tahu siapa namanya. Tak perlulah tahu berapa no handphonenya. Apa makanan kesukaannya, hobbynya, tinggal dimana ia, anak keberapa dari berapa bersaudara, punya agama atau tidak. Itu tak penting. Bagiku curriculum vitaenya hanya tercantum satu hal, yaitu jenis kelaminnya. Itupun bila ia tak pernah operasi transgender. Hopefully!!!

"Jadi yang lo mau apa sich, gue jadi bingung?" Itu satu hal yang kudu terlontar dari setiap orang bila mendengar ceritaku ini. Tak jauh beda dengan Lunnad. Itupulalah yang ingin diketahuinya dariku.

"Aku cuma mau satu bis gaban dengan si Jaket Almamater itu. Menutupi rasa penasaran. That's it."

Lunnad mengerutkan keningnya, hampir menembus angka sepuluh kerutan. Fantastis.

"Lain kali?"

"Ga ada lain kali."


Juanda, 16 Okto 2008